PERJALANAN MENUJU USIA SENJA
Tujuh belas tahun yang lalu, tepatnya pada musim panas, istri saya Muriel dan saya memulai perjalanan menuju usia senja. Saat ini kami sudah memasuki tengah malam, paling tidak bagi Muriel, dan terkadang saya bertanya-tanya kapan fajar akan merekah. Penyakit Alzheimer yang menakutkan ini seharusnya tidak menyerang terlalu dini sehingga menimbulkan siksaan yang berkepanjangan. Namun, dalam dunianya yang sunyi, Muriel selalu tampak puas dan senang. Bila Yesus memanggilnya pulang, saya akan sangat kehilangan sosok yang lembut dan manis. Memang terkadang saya merasa jengkel padanya, tetapi itu jarang terjadi. Tak ada gunanya marah-marah. Selain itu, mungkin inilah jawaban Tuhan atas doa-doa saya di masa muda, agar Dia selalu memberi ketenangan bagi jiwa saya.
Namun suatu kali saya kehilangan kendali. Saat Muriel masih mampu berdiri dan berjalan, kami belum berpikir untuk menggunakan popok, sehingga terkadang Muriel buang air kecil di luar kesadarannya. Suatu kali saya sedang membersihkan bekas ompol di dekatnya, namun ia tetap berdiri dan kebingungan. Akan jauh lebih mudah jika ia diam, tetapi ia terus berusaha membantu saya. Karenanya saya semakin frustasi. Akhirnya, agar ia diam, saya memukul betisnya. Saya pikir itu akan ada gunanya. Memang tidak keras, namun itu membuatnya terkejut. Saya pun terkejut. Selama 44 tahun menikah, belum pernah saya menyentuhnya dengan kemarahan atau kata-kata kasar. Namun kini, justru saat ia sangat membutuhkan saya…..
Dengan terisak saya meminta maaf. Saya tak peduli apakah ia mengerti kata-kata saya atau tidak, karena ia juga tak mampu berbicara. Lalu saya berdoa kepada Tuhan untuk menyatakan betapa saya sangat menyesali sikap saya. Saya membutuhkan waktu berhari-hari untuk melupakan hal itu. Barangkali Tuhan mengumpulkan airmata saya guna memadamkan api yang mungkin akan berkobar lagi suatu hari kelak.
Tak lama setelah itu, saya kembali membersihkan lantai kamar mandi, dan lagi-lagi Muriel ingin membantu---bukankah ia ahli dalam membersihkan segala sesuatu? Namun sekarang tangan-tangan itu tak tahu apa yang harus dilakukan. Dengan panik saya terus mengepel lantai, sambil berusaha menjauhkan tangannya, dan memikirkan jalan terbaik untuk mengganti pakaian dalamnya yang kotor sementara ia sendiri tidak menyadarinya. Saat itu terdengar suara Chuck Swindoll yang nyaring dari radio di dapur, “Selamat pagi bapak-bapak! Apakah Anda betah di rumah? Benar-benar betah di rumah?” Di tengah bau yang menyengat saya tersenyum, “Ya, Chuck, saya benar-benar betah di rumah.” Apakah saya pernah mengharapkan yang sebaliknya?
Sebagian orang tak dapat memahami bahwa mengasihi Muriel sebenarnya tidaklah sulit. Mereka bertanya-tanya mengenai apa yang dulu saya cintai, yakni pekerjaan saya. Seorang mahasiswa tingkat pertama bernama Scott mendengar bahwa saya telah mengundurkan diri dari jabatan Rektor Universitas Internasional
Tetapi malam itu saya merenungkan pertanyaan mahasiswa tersebut dengan sungguh-sungguh dan berdoa kepada Tuhan. “Bapa, saya menyukai pekerjaan saya di rumah ini, dan tak pernah menyesalinya. Namun, jika seorang pelatih tidak menyertakan seseorang dalam pertandingan, itu berarti ia tidak menginginkannya dalam pertandingan itu. Tentu saja Engkau tak perlu mengucapkannya kepada saya, hanya saja saya ingin tahu---mengapa Engkau tidak membutuhkan saya dalam pertandingan?”
Saya tak dapat tidur nyenyak malam itu dan masih memikirkan pertanyaan yang sama saat terbangun. Waktu itu Muriel masih dapat berjalan, jadi kami dapat berjalan-jalan pagi mengelilingi perumahan. Ia merasa tidak yakin akan langkahnya, karena itu kami berjalan perlahan dan bergandengan tangan seperti biasanya. Hari itu saya mendengar langkah kaki di belakang kami. Saya menoleh dan melihat wajah seorang gelandangan yang saya kenal. Ia berjalan terhuyung-huyung mendahului kami, lalu membalikkan badan dan memandangi kami dari atas ke bawah. “Bagus. Saya suka,” ujarnya. “Ya, bagus. Saya suka itu.”
Ia pun membalikkan badan kembali, lalu berjalan menjauh sambil bergumam pada dirinya sendiri, ”Bagus. Saya suka itu.”
Ketika Muriel dan saya sampai ke taman dan duduk, perkataan gelandangan itu kembali terngiang di telinga saya. Tiba-tiba saya menyadari bahwa Tuhan berbicara kepada saya lewat seorang gelandangan tua yang mabuk. “Engkau berbisik dalam jiwa saya, ‘Saya menyukainya, itu bagus,’” kata saya dengan suara keras. “Saya mungkin tidak ikut dalam pertandingan, tetapi jika Engkau menginginkan demikian dan mengatakan bahwa itu bagus, itu sudah sangat berarti bagi saya.”
Kemudian tibalah tanggal 14 Februari 1995.
Hari Valentine selalu merupakan hari yang istimewa di rumah kami, karena pada hari itulah di tahun 1948 Muriel menerima lamaran saya. Menjelang hari Valentine tahun 1995, saya sempat membaca pernyataan dari beberapa dokter spesialis yang menyatakan bahwa Alzheimer merupakan penyakit yang paling
ganas, tetapi sesungguhnya yang menjadi korban adalah orang yang merawatnya. Saya bertanya-tanya mengapa saya tak pernah merasa menjadi korban. Maka saya menulis dalam buku harian, “Satu-satunya alasan yang membuat saya tidak merasa menjadi korban adalah karena saya memang bukan korban!” Tatkala orang mendesak saya untuk menghentikan semua yang saya lakukan untuk Muriel, saya menjawab, “Tidakkah Anda menyadari betapa sepinya hidup saya tanpa Muriel?”
Saya memandikan Muriel di atas tempat tidurnya pada malam menjelang Valentine dan memberinya ciuman selamat malam (ia masih menikmati dua hal, yakni makanan enak dan ciuman saya!). Kemudian saya membisikkan doa untuknya, “Yesus yang baik, Engkau mengasihi Muriel yang manis lebih dari saya mengasihinya, karena itu jagalah kekasih hati saya ini sepanjang malam; dan biarlah ia mendengar nyanyian malaikat.”
Pagi berikutnya, ketika sedang berolahraga dengan sepeda statis di dekat ujung tempat tidur Muriel dan mengenang masa-masa percintaan kami yang telah lama berlalu, Muriel terbangun dari tidurnya. Ia pun duduk, dan seperti yang sering dilakukannya, ia tersenyum kepada saya. Lalu untuk pertama kalinya selama berbulan-bulan, ia berbicara dan memanggil saya dengan suara sebening kristal, “Sayangku…sayangku…sayangku.” Saya melompat dari sepeda dan berlari memeluknya. “Sayangku, kau benar-benar mencintaiku, bukan?” kata saya. Sambil memandangi dan menepuk punggung saya, ia menjawab dengan satu-satunya kalimat yang berhasil disusunnya, “Aku bahagia,” katanya.
Barangkali itulah kata-kata terakhir yang dapat diucapkan istri saya.
By: Robertson McQuilkin
Hiks...Hiks... Cerita diatas aku sadur dari buku "Embun Bagi Jiwa: Terluka". Aku suka banget dengan ceritanya becoz' aku nggak nyangka meskipun udah tua, mereka masih saling mengasihi.. So Sweeeetttt!!!!!
Label: Life's Wises